Derap Nusantara

Perubahan Transformatif untuk Pembangunan Berkelanjutan

Newswire
Kamis, 12 September 2024 - 10:07 WIB
Maya Herawati
Perubahan Transformatif untuk Pembangunan Berkelanjutan Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno (tengah) menyampaikan pandangannya bersama Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Mesir Amr Ahmed Samih Talaat (keempat kanan), Minister Secretary General of the Government Guinea Tamba Benoit Kamano (keempat kiri), Special Envoy for G20 Bali Global Blended Finance Alliance Mari Elka Pangestu (ketiga kiri), Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi (kedua kiri), Direktur Institutional Banking BNI Munadi Herlambang (kanan), CEO Ibex Technologies and Promotion Ezedin

BADUNG—Pendekatan business as usual sudah tidak lagi efektif untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Perlu adanya transformasi baru demi mengakselerasi dan melanggengkan pembangunan untuk jangka panjang.

Paradigma itulah yang diyakini oleh Indonesia. Dengan berbagai tantangan dan gejolak global, cara-cara lama yang telah diterapkan dinilai usang dan membutuhkan perumusan baru yang bisa mengatasi persoalan terkini.

Namun, tantangan dan gejolak yang terjadi saat ini sangat kompleks. Ketegangan geopolitik, ketimpangan, kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, pandemi global, krisis keuangan, hingga gangguan rantai pasokan global berbondong-bondong menyerbu dunia secara nyaris bersamaan. Lantaran skalanya yang global, maks usaha sendirian tak bisa menyelesaikan masalah yang terjadi.

Indonesia, sebagai negara peringkat ke-75 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Suistainable Development Goals (SDGs), menyadari perlunya perubahan transformatif guna menjaga pembangunan dunia ke depannya.

Atas dasar itu, Indonesia menggelar Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak atau High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024. Melalui acara ini, Indonesia mengundang berbagai pemangku kepentingan untuk mendiskusikan perubahan transformatif demi pembangunan dunia yang berkelanjutan.

Target SDGs

Berdasarkan catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya 15 persen dari target SDGs yang berada di jalur yang benar, sedangkan banyak lainnya mengalami kemunduran.

Akibatnya, lebih dari separuh populasi dunia berisiko tertinggal dan tidak terlibat sebagai subjek pembangunan. Berbagai tantangan global, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, makin menghambat tercapainya target SDGs.

Di sisi lain, fragmentasi ekonomi, terutama dalam konteks perdagangan, dapat memiliki konsekuensi yang merugikan bagi ekonomi global. Riset Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan bahwa terbaginya blok perdagangan menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) global hingga 5 persen.

Sama halnya dengan WTO, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan adanya kerugian global akibat fragmentasi perdagangan, dengan estimasi kerugian berkisar 0,2 persen hingga 7 persen dari PDB.

Melihat berbagai kondisi itu, Indonesia menyerukan adanya langkah transformatif dan kerja sama internasional yang lebih kuat dan kritis dari sebelumnya.

Pergeseran paradigma global membutuhkan pengembangan kemitraan multi-pemangku kepentingan, yang akan meningkatkan aksi kolektif melalui mobilisasi sumber daya, tanggung jawab bersama, dan peningkatan dampak yang optimal.

Perubahan transformatif diharapkan dapat menjadi solusi yang mampu mempersempit kesenjangan pembangunan antarnegara.

Aksi kolektif Selatan Global

Sebagai salah satu langkah konkret, Indonesia menggandeng negara-negara Selatan Global (Global South) untuk merumuskan perubahan transformatif yang bisa membawa dampak berkelanjutan.

"Global South” merujuk pada negara-negara yang sebagian besar berada di wilayah selatan dunia secara geografis, terutama negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Oseania.

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan negara-negara yang, secara historis, sering menghadapi tantangan pembangunan seperti kemiskinan, ketimpangan, infrastruktur terbatas, serta ketergantungan ekonomi pada negara-negara maju di belahan bumi utara.

Melalui HLF MSP 2024, yang digelar bersamaan dengan Indonesia-Africa Forum (IAF) Ke-2, Indonesia menyatukan pemangku kepentingan dari dalam negeri maupun negara-negara Afrika untuk menggaungkan aksi kolektif Selatan Global.

Setidaknya, tercatat 26 negara berpartisipasi dalam forum ini. Perwakilan negara bisa membagikan pengetahuan dan pengalaman masing-masing untuk menjadi referensi bagi negara lainnya dalam merumuskan kebijakan.

Dengan kondisi yang serupa antarnegara, Selatan Global dinilai menjadi suatu peluang bagi Indonesia untuk terus berkontribusi nyata dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Indonesia sendiri menyampaikan soal kerangka kerja ekonomi biru dan rencana ekonomi sirkular kepada pemangku kepentingan yang terlibat dalam forum.

Kerangka kerja ekonomi biru tertuang dalam Peta Jalan Ekonomi Biru atau Blue Economy Roadmap yang ditargetkan dapat menjadi menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Melalui kerangka kerja ini, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kontribusi ekonomi maritim terhadap PDB Indonesia dari 7,6 persen menjadi 15 persen pada tahun 2045.

Ekonomi biru juga diyakini mampu menciptakan 12 juta lapangan kerja baru dan mencapai target 10 persen kawasan perlindungan laut (Marine Protected Areas/MPA) pada tahun 2030.

Adapun rencana ekonomi sirkular tercantum dalam Peta Jalan & Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045. Penerapan ekonomi sirkular diterapkan pada lima prioritas, yaitu pangan, elektronik, kemasan plastik, konstruksi, dan tekstil, akan memberikan manfaat.

Beberapa manfaat tersebut adalah peningkatan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp638 triliun pada 2030, penciptaan 4,4 juta lapangan kerja hijau dengan 75 persen merupakan tenaga kerja perempuan hingga 2030, hingga kontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 126 juta ton karbondioksida.

Selain kedua hal itu, Indonesia juga membagikan informasi seputar skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagai salah satu bentuk pembiayaan inovatif.

Pembiayaan inovatif menjadi salah satu agenda dalam HLF MSP 2024, mengingat Selatan Global yang masih kerap menghadapi kendala akses keuangan, padahal kendala ini dapat menghambat negara Selatan Global dalam mencapai target SDGs.

Pembahasan lain dalam tematik ini ialah soal solusi pendanaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tengah krisis global.

Salah satu inisiatif yang akan dibahas adalah Global Blended Finance Alliance (GBFA), sebuah mekanisme kolektif yang bertujuan untuk menyediakan pendanaan yang berkelanjutan dan inklusif bagi UMKM.

Kerja Sama yang Inklusif

Ketika memberikan sambutan dalam HLF MSP 2024, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menekankan pentingnya perwujudan kerja sama yang efektif dan inklusif antara Selatan dan Utara Global.

Untuk itu, HLF MSP 2024 melibatkan perwakilan pemerintah, sektor swasta, akademisi, organisasi internasional, LSM, bank pembangunan multilateral, dan filantropi untuk duduk bersama mencari solusi pembangunan.

Pelibatan berbagai kalangan pemangku kepentingan diharapkan dapat menjadi langkah perubahan transformatif yang mendorong perumusan solusi yang inklusif.

Kemitraan itu juga diharapkan dapat menumbuhkan potensi penuh negara-negara Selatan Global untuk menjadi jembatan penghubung antara Selatan-Selatan maupun Selatan-Utara sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan. ANTARA

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

490.600 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek

News
| Sabtu, 21 Desember 2024, 17:37 WIB

Advertisement

alt

Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup

Wisata
| Sabtu, 21 Desember 2024, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement