Derap Nusantara

Pertanian Karbon dan Mitigasi bagi Perubahan Iklim

Newswire
Kamis, 07 November 2024 - 10:07 WIB
Maya Herawati
Pertanian Karbon dan Mitigasi bagi Perubahan Iklim Arsip foto-Warga melaksanakan persembahyangan di dekat panel surya yang terpasang di area persawahan desa berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), Desa Keliki, Gianyar, Bali, Jumat (16/9/2022). Desa yang menerapkan agrikultur berbasis EBT yakni pengairan lahan pertanian menggunakan pompa air bertenaga surya tersebut menjadi salah satu lokasi kunjungan delegasi studi ekskursi Energy Transition Working Group (ETWG) G20 pada awal September 2022 lalu. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo - rwa.)

JAKARTA—Perubahan iklim menjadi isu global, meskipun masih kerap ada yang mempertanyakan fenomena itu apakah merupakan fakta atau mitos.

Sebagian orang meragukan terkait apakah ada riset khusus, misalnya di beberapa lokasi di Indonesia yang bisa membuktikan bahwa perubahan iklim itu nyata terjadi dengan fakta-fakta yang kasat mata.

Secara logika, sejatinya perubahan iklim dapat dirasakan dari perbedaan cuaca atau kondisi yang terjadi, misalnya dalam 4 atau 5 dekade lalu di satu wilayah, seperti Bogor masa kini, yang pasti berbeda dengan kondisi Bogor, beberapa tahun lalu.

Merespons kemungkinan terjadinya perubahan iklim agar tidak menimbulkan dampak yang lebih luas, perlu dilakukan upaya maksimal untuk menekan karbon yang terlepas ke atmosfer.

Itulah yang mendorong pemerintah di berbagai negara di dunia memberi perhatian khusus terkait mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebab, meskipun tidak selalu tampak, namun perubahan iklim merupakan kenyataan yang dihadapi umat manusia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah mengatakan perubahan iklim berdampak pada sejumlah sektor prioritas di Tanah Air. Perubahan iklim di Indonesia telah berdampak pada sektor prioritas, yaitu pangan, air, kesehatan, energi, dan ekosistem.

Kerugian dan kerusakan yang terjadi pada bidang prioritas dapat berpengaruh pada sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, ia mengajak masyarakat ikut ambil bagian dalam meminimalkan dampak perubahan iklim.

Mitigasi perubahan iklim itu, di antaranya dapat dilakukan dengan sekuestrasi karbon seiring dengan peningkatan produktivitas lahan. Dengan kata lain, melakukan upaya menarik sebanyak mungkin CO2 dan menyimpannya dalam bentuk Carbon Sequestration di dalam tanah, sekaligus untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas.

Produktivitas lahan akan mendorong tumbuhnya vegetasi yang lebih luas, sehingga penangkapan karbon melalui proses fotosintesis tanaman terjadi lebih banyak. Inilah konsep pertanian karbon yang secara ideal bisa menjadi mitigasi yang efektif untuk menekan dampak perubahan iklim.

Pertanian karbon akan mendorong terbangunnya adaptasi, seperti ecobiodiversity atau market untuk carbon credit atau ecotourism.

Kombinasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang baik akan mendorong terwujudnya tujuan besar konservasi tanah dan air di suatu wilayah.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mendorong praktik pertanian karbon.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan inisiatif untuk mendukung implementasi pertanian karbon, dengan fokus pada peningkatan penyimpanan karbon di sektor pertanian dan kehutanan.

Beberapa kebijakan utama terkait pertanian karbon di Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Regulasi ini mengatur kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi gas rumah kaca (GRK) secara berkala.

Ada pula Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) yang menetapkan target penurunan emisi karbon dan peningkatan ketahanan iklim hingga tahun 2050.

Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Emisi Gas Rumah Kaca yang mengatur tata cara pengelolaan emisi GRK, termasuk dalam sektor pertanian dan kehutanan.

Seiring dengan itu ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Inventarisasi dan Pelaporan Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Pertanian. Pedoman ini memberikan panduan teknis untuk menghitung dan melaporkan emisi GRK dari kegiatan pertanian.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah lain untuk mendukung pertanian karbon, seperti kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pertanian karbon dan manfaatnya bagi lingkungan.

Pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk mendukung program-program pertanian karbon, termasuk penelitian, pengembangan, dan implementasi praktik-praktik yang berkelanjutan.

Kemudian mengembangkan kerja sama internasional dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara lain dan organisasi internasional untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam bidang pertanian karbon, salah satunya pendanaan dari Bank Dunia melalui BioCF ISFL di Jambi.

Meskipun telah ada kemajuan yang signifikan, nyatanya masih terdapat tantangan dalam implementasi pertanian karbon di Indonesia. Beberapa tantangan utama itu, mencakup masih banyaknya petani yang belum sepenuhnya memahami manfaat pertanian karbon dan cara-cara untuk menerapkannya.

Beberapa petani juga tidak memiliki akses yang cukup ke teknologi dan sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan praktik pertanian karbon.

Sementara kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pertanian karbon masih perlu diintegrasikan secara lebih efektif untuk mencapai hasil yang optimal.

Bagaimana Seharusnya?

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan berbagai upaya dalam mendukung pertanian karbon.

Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan kebijakan, dan peningkatan akses petani terhadap teknologi dan sumber daya.

Dengan demikian, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim melalui sektor pertanian dan kehutanan.

Praktik pertanian karbon ini harus dilihat dari sisi positif karena tidak hanya memproduksi sumber pangan, tetapi juga berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama penyebab pemanasan global.

Beberapa praktik pertanian karbon yang dapat terus dikembangkan di Indonesia, di antaranya rotasi tanaman, yakni menanam berbagai jenis tanaman secara bergantian dalam satu musim atau dari tahun ke tahun.

Bisa juga dengan pola tanam tumpangsari yang menanam beberapa jenis tanaman secara bersamaan dalam satu lahan. Kemudian mulsa atau menutup permukaan tanah dengan bahan organik seperti jerami atau sisa tanaman. Lalu mengurangi pengolahan tanah untuk menjaga struktur tanah yang baik.

Selain itu juga bisa menerapkan agroforestri atau menanam tanaman keras, seperti pohon di antara tanaman semusim.

Pertanian karbon memiliki potensi besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu mencapai target penurunan suhu global. Praktik pertanian karbon juga potensial dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kandungan organik, dan meningkatkan kapasitas tanah dalam menahan air.

Dari sisi ketahanan pangan, model ini dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan, terutama di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem. Pada akhirnya petani dapat memperoleh pendapatan tambahan melalui mekanisme pembayaran berbasis kinerja (payment for performance) atas karbon yang mereka simpan.

Sementara di sisi lain, ada sebagian pihak berpendapat bahwa implementasi pertanian karbon membutuhkan investasi awal yang cukup besar, terutama untuk peralatan dan teknologi yang diperlukan.

Sementara kondisi saat ini, kecenderungannya masih ada keterbatasan data dan informasi mengenai potensi penyimpanan karbon di berbagai jenis tanah dan ekosistem pertanian di Indonesia.

Pertanian karbon juga dianggap kompleks karena melibatkan banyak faktor yang saling terkait, sehingga sulit untuk mengukur dan memverifikasi jumlah karbon yang tersimpan secara akurat, dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada kebijakan, termasuk insentif fiskal dan regulasi yang mendukung.

Rekomendasi Implementasi

Sejumlah rekomendasi dalam implementasi pertanian karbon di Indonesia dapat ditekankan pada fokus peningkatan kapasitas petani, yakni melalui pelatihan dan penyuluhan, petani perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan praktik pertanian karbon.

Sejalan dengan itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan teknologi yang sesuai dengan kondisi agroklimat Indonesia untuk mendukung implementasi pertanian karbon.

Sebagai pendukungnya, maka pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk membangun ekosistem pertanian karbon yang berkelanjutan.

Kemudian perlu dikembangkan pasar karbon yang transparan dan efisien agar dapat memberikan insentif bagi petani untuk menerapkan praktik pertanian karbon yang baik.

Seiring dengan penetapan standar dan sertifikasi yang jelas untuk memastikan kualitas dan kuantitas karbon yang tersimpan, implementasi pertanian karbon kemudian perlu dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk mengukur keberhasilan dan melakukan perbaikan yang diperlukan.

Pada prinsipnya pertanian karbon menawarkan potensi besar untuk mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.

Hanya saja, keberhasilan implementasinya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan upaya yang sistematis.

Dengan pendekatan yang tepat, pertanian karbon dapat menjadi solusi yang sama-sama menguntungkan bagi petani, lingkungan, dan masyarakat secara keseluruhan, sekaligus sebagai mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PKB Dukung Gagasan Prabowo Perbaiki Sistem Pemilu dan Pilkada

News
| Jum'at, 13 Desember 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Mingguan (Jalan-Jalan 14 Desember) - Jogja Selalu Merayakan Buku

Wisata
| Selasa, 10 Desember 2024, 17:38 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement